11 Mei 2010

Standar Kelulusan Memicu Divestasi Masa Depan



Niat pemerintah untuk memajukan kualitas pendidikan bangsa perlu diacungi jempol. Pasalnya, usaha untuk membuat kebijakan yang lebih baik telah dirumuskan dan dilaksanakan dengan harapan terjadi perbaikan. Anggaran pendidikan pun ditambah menjadi seperlima dari APBN untuk mencapai target. Akan tetapi, harapan terkadang tidak seindah yang ada di lapangan. Faktanya, UN yang berjalan sampai saat ini masih harus menempuh upaya perbaikan untuk mendapatkan format yang ideal. Hal ini menjadi PR bersama, terutama pemerintah selaku regulator yang membuat sistem pendidikan dapat berjalan dengan baik.

Penerapan standar kelulusan sudah berlaku sejak lima tahun lalu. Dengan standar nilai kelulusan yang lebih tinggi, pemerintah berharap peserta didik termasuk guru mampu meningkatkan kualitas pendidikan. Pendekatan yang dilakukan tersebut, kiranya menemui sebuah dilema dengan kenyataan yang ada. Di satu sisi pemerintah meningkatkan tingkat kelulusan dengan harapan terjadi perbaikan. Namun, di sisi lain semakin banyak peserta didik yang tidak lulus karena beban yang mereka terima meningkat. Tidak pantas jika kita mencari kembing hitam dari peristiwa ini. Kita bisa bilang bahwa, nasib masa depan siswa hanya ditentukan dalam beberapa hari saat masa UN. Padahal, investasi pendidikan kepada siswa memerlukan usaha dan waktu yang tidak sebentar. Apalagi yang menjadi patokan adalah standar minimum kelulusan yang dibuat pemerintah.

Sekilas penerapan standar kelulusan yang meningkat berkorelasi positif dengan perbaikan pendidikan. Tidak seorangpun berani menjamin hal tersebut, jika implementasi yang dijalankan masih sama dengan sebelumnya. Justru penerapan berbasis standar nilai kelulusan, akan menciptakan potensi pragmatisme dalam pendidikan. Artinya, sumber daya dalam pendidikan terarahkan untuk mencapai minimum standar kelulusan, alias yang penting lulus, gimanapun caranya. Nama sekolah dapat tercoreng, jika jumlah siswanya banyak yang tidak lulus. Paradigma tersebut, melahirkan budaya tidak sehat, dengan melakukan usaha yang tidak etis mulai dari inisiatif siswanya sendiri hingga usaha tersistem yang dilakukan sekolah untuk meluluskan siswanya. Tidak berhenti disini, untuk yang tidak lulus akan menanggung beban sosial yang berpotensi melakukan hal yang kurang etis seperti perusakan sekolah yang terjadi baru-baru ini.

Melihat perkembangan penerapan standar kululusan, pemerintah harus melakukan banyak evaluasi, terutama mencari faktor yang menyebabkan imbas yang kurang baik bagi pendidikan. Jika melihat ke masa lalu, saat faktor kelulusan ditentukan oleh sekolah, tidak banyak kejadian terjadi seperti kasus baru-baru ini. Mungkin pemerintah bisa mengadopsi sistem yang pernah dijalankan sebelumnya dengan beberapa penyesuaian dengan kondisi saat ini. Selain memperhatikan standar nilai yang ditentukan oleh sekolah, faktor kelulusan di masa lalu juga memperhatikan aspek perilaku dan moral.

Memang tidak mudah menentukan sistem pendidikan yang terbaik, akan tetapi kita bisa bercermin dari esensi pendidikan itu sendiri. Pendidikan memiliki tujuan yang penting untuk menciptakan SDM yang berkualitas, beretika dan bermoral. Dari tujuan tersebut, kita semua dapat bercermin bagaimana seharusnya sebuah sistem pendidikan harus dibentuk. Tentunya kita berharap semua, bahwa sistem kelulusan yang dibuat saat ini adalah upaya untuk mengarah kesana. Disadari atau tidak pendidikan adalah investasi terbesar yang menentukan nasib bangsa de depan. Jika investasi yang dilakukan menemukan dampak yang tidak diinginkan, karena ketidaksesuaian sistem yang diciptakan, maka kita berharap semua sistem yang ada segera mendapatkan format idealnya. Majulah pendidikan Indonesia.

Tri Mukhlison A
Mahasiswa Berprestasi Sosial FEUI 2010